Langsung ke konten utama

Kiat-Kiat Sukses Merubah Pola Kebiasaan Hidup Ala Babah Ghofur


Babah Ghofur pernah
ngendikan (berkata), “Selama empat puluh hari seseorang bisa merubah kebiasaannya”.

Saat itu Babah Ghofur sedang menasihati santri-santrinya yang sudah mendekati kelulusan. Setiap sebelum hari kelulusan tradisi santri di sini adalah sowan kepada para Masyayikh, terutama kepada zurriyyah (keturunan-keturunan) Mbah Maimoen Zubair.

Bertepatan pada waktu itu, yang sowan kepada Babah Ghofur adalah santri MA Al-Anwar 2, putra-putri. Saat itu mereka sowan atau bermajlis di mushala Al-Anwar 3.

Pesan yang disampaikan Babah Ghofur saat itu adalah agar santri-santrinya ketika sudah pulang ke rumah masing-masing nanti tetap istikamah menjalankan ajaran-ajaran yang sudah diajarkan di pondok pesantren. Ilmu yang sudah didapatkan agar selalu diamalkan. Baik untuk pegangan diri sendiri atau untuk disebarkan kepada khalayak luas. Babah Ghofur ngendikan, karena gak semua yang pulang dari sini menjadi ustaz semuanya. Ada yang jadi pedagang, ada yang bertani, ada yang buka usaha, macem-macem.

Selanjutnya Babah Ghofur bercerita perihal keramatnya angka empat puluh dalam dunia pesantren. Babah menuturkan bahwasanya di balik angka tersebut ada banyak cerita. Nabi Musa ‘Alayhi al-Salam dipanggil Allah dan berbicara dengan Allah selama empat puluh hari. Selanjutnya Nabi Muhammad Ṣalla Allahu ‘Alayhi wa Sallam selalu menganalogikan sesuatu dengan angka empat puluh. Misalnya ketika Nabi memberikan gambaran pahala bagi orang yang yang melaksanakan salat berjamaah selama empat puluh hari berturut-turut. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi (241).

حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ، وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ، قَالَا: حَدَّثَنَا سَلْمُ بْنُ قُتَيْبَةَ، عَنْ طُعْمَةَ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ

Dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah SAW. Bersabda: “Barangsiapa yang salat karena Allah selama empat puluh hari secara berjamaah dengan mendapatkan takbir yang pertama akan dicatat baginya dua pembebasan, pembebasan dari api neraka dan pembebasan dari nifak (sifat munafik)”.

Itu mengapa angka empat puluh menjadi angka keramat di kalangan santri-santri.

Babah Ghofur membuat skema kiat-kiat sukses merubah kebiasaan pola hidup cukup dengan empat puluh hari.

Hal apa saja yang harus dilakukan?

Bisikkan hal baik ke dalam diri

Misalnya, “Saya ini akan menjadi orang hebat”. Maka bisikan itu akan menjadi sugesti bagi diri kita. Akibatnya kita akan mulai melakukan hal-hal yang merujuk kita menjadi orang hebat, seperti membaca buku, belajar, mengulang pelajaran dan lain-lain. Hal ini berjalan secara alamiah. Sadar atau tidak sadar kita akan melakukan hal-hal yang menuju kita menjadi orang hebat. Itu karena diri kita sudah tersugesti sejak awal.

Orang itu terlahir sama rata. Mereka dibekali dengan akal pikiran dan juga hati. Tapi kenapa di kemudian hari, kapasitas pengetahuan mereka berbeda-beda? Itu karena mereka tidak memaksimalkan bekal yang sudah diberikan Allah SWT.

Maka dari itu, untuk memunculkan rasa kemauan untuk lebih maju, lebih bermartabat, bermanfaat, harus adanya dorongan yang datangnya dari diri kita sendiri. Bisikkan hal-hal baik ke dalam dirimu. Aku ingin jadi orang sukses. Aku ingin jadi orang kaya. Aku ingin jadi presiden. Sesuatu yang kamu bisikkan ke dalam diri itu yang nantinya akan menjadi keyakinan.

Allah SWT berfirman:

لَهٗ مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ يَحْفَظُوْنَهٗ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ إِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْ وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚوَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ

Baginya (manusia) ada (malaikat-malaikat) yang menyertainya secara bergiliran dari depan dan belakangnya yang menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (QS. Ar-Ra’d [13]: 11).

Lakukan apa saja sesuai keyakinan kamu

Maksudnya adalah kita melakukan hal sesuai denga napa yang kita Yakini. Artinya jika menurut kita itu adalah sebuah kebaikan, maka lakukanlah. Tidak perlu emndengar cibiran orang tentang kita. Selama kita benar, tenang saja.

Jangan ikut-ikutan orang lain. Kita yang harus menjadi contoh kebaikan untuk orang banyak. Jangan menunda-nunda kebaikan.

Tapi, jika keyakinan kamu itu salah dan dikritik banyak orang, maka harus ada yang diintrospeksi dari diri kamu. Jangan sekali-kali mencoba mempertahankan keyakinan kamu jika itu jelas salah.

Kalau seseorang sudah terbiasa melakukan hal selama 40 hari, maka seterusnya ketika tidak melakukan hal itu satu kali saja rasanya seperti ada yang tertinggal. Ia akan merasa seperti bukan dirinya. Maka dari itu ketika melakukan sesuatu sudah bukan lagi karena paksaan, tapi sudah karena kebiasaan yang melekat.

Jika kedua hal itu sudah kamu lakukan, maka tetap dalam pendirianmu itu selama empat puluh hari. Karena dengan empat puluh hari, hal tersebut akan menjadi kebiasaan.

Kapan hal itu dinamakan sebuah kebiasaan? Selama kamu merasa hal itu sudah melekat dalam diri kamu. Sudah mendarah daging. Artinya, ketika kamu tidak melewatkan hal itu satu hari saja, maka harimu seperti ada yang kurang. Seperti ada yang tertinggal di hari kamu itu. Itulah yang dinamakan kebiasaan. Maka selanjutnya kebiasaan itulah yang nantinya akan menjadi takdir seseorang.

Takdir itu tidak jauh-jauh dari kebiasaan seseorang. Jika kebiasaannya adalah belajar, membaca buku, mengulang pelajaran, maka takdirnya ya yang dekat-dekat dengan hal itu. Menjadi guru misalnya, atau menjadi dosen, dan lain-lain. Jadi lakukanlah kebiasaan-kebiasaan baik mulai dari sekarang. Kalau gak dari sekarang mau kapan lagi?

Komentar

Cerpen

Pemaknaan Kitab Kuning Dengan Menggunakan Makna Gandul di Era Milenial: Antara Tradisi dan Sistem

Pondok Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan dengan latar belakang agama. Biasanya Pondok Pesantren dipimpin oleh seorang Kiyai atau dengan sebutan-sebutan lainnya, seperti Abuya, Abah yai, Abah, Babah dan lain-lain. Adapun yang menjadi pelajarnya disebut dengan santri. Di Indonesia Pondok Pesantren digolongkan menjadi dua, yaitu Pondok Pesantren Salaf dan Pondok Pesantren Modern. Pondok Pesantren pada umumnya mengajarkan al-Qur’an dan pengkajian kitab-kitab kuning, juga mengkaji tata krama dan sopan santun (akhlak) agar bisa diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, baik itu Pondok Pesantren Salaf atau pun Pondok Pesantren Modern. Akan tetapi, yang menjadi titik pembeda di sini terletak pada kurikulum pembelajarannya. Dalam kurikulum Pondok Pesantren Salaf, sistem pembelajarannya masih melestarikan budaya pegon atau makna gandul - hingga saat ini. Berbeda dengan Pondok Pesantren Modern, kurikulum atau sistem pemaknaan dengan aksara pegon atau makna gandul sudah jar

Cerita Babah Ghofur Ketika Di Pesawat

Ada sebuah kisah yang dipaparkan oleh Dr. KH. Abdul Ghofur Maimun, MA. Cerita ini disampaikan bertepatan dengan malam nuzulul Qur’an, 17 Ramadhan 1443 H yang bertepat di PP. Al-Anwar 3, Sarang. Sebelum itu, Dr. KH. Abdul Ghofur Maimun, MA. atau lebih akrab disapa dengan Babah Ghofur di kalangan santri-santrinya, berkisah bahwa penetapan malam Nuzulul Qur’an yang diperingati setiap malam 17 Ramadhan ternyata tidak hanya di Indonesia saja. Di Mesir dan di sebagian besar begara Muslim juga memperingati malam 17 Ramadhan sebagai malam nuzulul Qur’an. Babah Ghofur membacakan dua hadis Nabi Ṣalla Allāhu ‘Alayhi Wa Sallam, Pertama, hadis yang diriwayatkan oleh Anas ra. حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا عَفَّانُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَكَلَ طَعَامًا لَعِقَ أَصَابِعَهُ الثَّلَاثَ وَقَالَ إِذَا مَا وَقَعَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيُمِطْ عَنْهَا الْأَذَى وَ

Madrasah Bulan Ramadhan

Malam peringatan haul KH. Zubair Dahlan sekaligus memperingati malam Nuzulul Qur’an yang diadakan di PP. Al-Anwar 3, Sarang. Dalam ceramahnya, Dr. KH. Abdul Ghofur Maimun, MA., putra dari KH. Maimun Zubair sekaligus cucu dari KH. Zubair Dahlan menyebut bulan Ramadhan sebagai madrasah. “Bulan Ramadhan ini merupakan  madrosaturromadon  bagi kita semua”. Begitu ungkap beliau. Beliau mengungkapkan bahwa untuk merubah kepribadian atau kebiasaan seseorang hanya dibutuhkan waktu 30 hari saja. Sehubungan bertepatan dengan bulan Ramadhan, ini bisa kita jadikan sebagai ajang latihan. Hal apa saja sih yang bisa kita jadikan sebagai latihan? Pertama, bangun sebelum subuh Ini mungkin suatu hal atau kebiasaan yang sudah lumrah terjadi di kalangan para santri. Selain tujuan pendidikan, para santri dilatih untuk bisa bangun lebih awal. Dalam dunia pesantren tradisi bangun sebelum subuh pasti diajarkan dan diterapkan. Kebiasaan bangun sebelum subuh, dalam kacamata masyarakat awam rupanya

Doa Fajar

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ. اللَّهُمَّ صّلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan keselamatan kepada junjungan keharibaan Muhammad dan juga kepada keluarganya. اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِكَ، تَهْدِيْ بِهَا قَلْبِيْ، وَتَجْمَعُ بِهَا شَمْلِيْ، وَتَلُمُّ بِهَا شَعْشِيْ، وَتَرُدُّ بِهَا أُلْفَتِيْ، وَتُصْلِحُ بِهَا دِيْنِيْ، وَتَحْفَظُ بِهَا غَائِبِيْ، وَتَرْفَعُ بِهَا شَاهِدِيْ، وَتُزَكِّيْ بِهَا عَمَلِيْ، وَتُبَيِّضُ بِهَا وَجْهِيْ، وَتُلْهِمُنِيْ بِهَا رُشْدِيْ، وَتَقْضِيْ بِهَا حَاجَتِيْ، وَتَعْصِمُنِيْ بِهَا مِنْ كُلِّ سُوْءٍ. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu rahmat dari sisi-Mu, yang denganya Engkau menunjuki hatiku, mengumpulkan yang terserak dariku, memperbaiki apa yang kusut padaku, mengembalikan padaku kesenanga