Pondok Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan dengan latar belakang agama. Biasanya Pondok Pesantren dipimpin oleh seorang Kiyai atau dengan sebutan-sebutan lainnya, seperti Abuya, Abah yai, Abah, Babah dan lain-lain. Adapun yang menjadi pelajarnya disebut dengan santri.
Di Indonesia Pondok Pesantren digolongkan
menjadi dua, yaitu Pondok Pesantren Salaf dan Pondok Pesantren Modern. Pondok
Pesantren pada umumnya mengajarkan al-Qur’an dan pengkajian kitab-kitab kuning,
juga mengkaji tata krama dan sopan santun (akhlak) agar bisa diimplementasikan
ke dalam kehidupan sehari-hari, baik itu Pondok Pesantren Salaf atau pun Pondok
Pesantren Modern. Akan tetapi, yang menjadi titik pembeda di sini terletak pada
kurikulum pembelajarannya.
Dalam kurikulum Pondok Pesantren Salaf,
sistem pembelajarannya masih melestarikan budaya pegon atau makna gandul - hingga
saat ini. Berbeda dengan Pondok Pesantren Modern, kurikulum atau sistem
pemaknaan dengan aksara pegon atau makna gandul sudah jarang sekali diadopsi
sebagai media pembelajaran, pasalnya Pondok Pesantren Modern sudah memiliki
sistem pembelajaran baru yang dinilai lebih efektif, dengan menghafalkan kamus
atau kitab-kitab mufradat misalnya, sehingga santri tidak lagi kesulitan
mengalih-bahasakan ke dalam bahasa Jawa terlebih dahulu, karena kosa-kata yang
dihafalkannya sudah banyak dan bisa dikatakan sudah mumpuni.
Penggunaan aksara (abjad) Arab pegon (bahasa
Jawa yang ditulis menggunakan huruf hijaiyah) selain dari pada tujuan politik
pada zaman kolonial, bertujuan untuk mempermudah santri atau masyarakat pada
saat itu memahami maksud dari isi kitab. Sedangkan makna gandul itu ditujukan
untuk mempermudah santri mengetahui tingkatan bahasa (hierarki linguistik).
Misalnya penggunaan makna gandul yang ditandai dengan huruf “mim”, itu
menunjukkan bahwa tingkatan kata tersebut adalah mubtada’ (subjek).
Ada lagi misalnya ditandai dengan huruf “kha’”, berarti menunjukkan
tingkatan kata tersebut berupa khabar. Begitu juga ditandai dengan huruf
“mim-fa’” yang berarti menunjukkan maf’ul bih (objek), huruf “fa’”
yang berarti menunjukkan fa’il (subjek) dan lain sebaginya. Metode
seperti ini akan sangat membantu pembelajaran santri mengetahui tingkatan
bahasa (hierarki linguistik) atau dalam dunia Pesantren lebih dikenal dengan
istilah tarkib nahwu dan sarafnya.
Penggunaan aksara pegon dan makana gandul
dalam dunia Pondok Pesantren Modern tidak semuanya mengadopsi sistem ini.
Karena Pondok Pesantren Modern lebih mengedepankan metode-metode praktis dalam
kurikulum pembelajarannya, dengan tujuan pembelajaran tidak terlalu
muluk-muluk. Akan tetapi tujuan dari pada adanya Pondok Pesantren itu sendiri
guna menjadi fungsi sebagaimana mestinya, yakni mengajarkan al-Qur’an dan
kitab-kitab kuning dan lain sebagainya. Hanya saja berbeda pada sistem
pembelajarannya seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Di akhir, penulis menyimpulkan bahwa
penggunaan aksara pegon atau makna gandul itu sudah bertransformasi menjadi
sebuah sistem. Pada mulanya memang penggunaan aksara pegon dan makna gandul
tersebut hanyalah sebuah tradisi yang berkembang dari masa lalu. Kemudian,
tradisi tersebut terus-menerus dilestarikan dan dikembangkan sehingga hal
tersebut secara tidak langsung menjadi sistem yang absolut, seakan-akan antara
penggunaan makna pegon dan makna gandul tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Sudah seharusnya bagi kita semua yang notabene santri salaf dan juga menghargai
kebudayaan turut melestarikan dan menjaga kebudayaan tersebut. Karena hal ini
merupakan bagian penting di mana Islam pertama kali disyiarkan dengan
menggunakan bahasa pegon.
semangat buat blog yah..cup cuap ah,....
BalasHapus